Hati siapa yang ngga luluh melihat anak kecil dengan fisik normal menggandeng tangan sang ayah yang ternyata adalah tuna netra. Anak kecil itu tanpa malu dan gengsi menuntun ayahnya yang memang terlihat kurang sempurna. Sepertinya ia sadar betul bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, dan tugas kita adalah untuk saling menutupi kekurangan itu dengan kelebihan yang kita miliki.
Minggu pagi, ketika jalan-jalan di kota tempat tinggal nenek. Bersama Pakpo (sebutan akrab pakdhe), aku duduk di samping kemudi mobil sedan. Melintas di alun-alun, terlihat banyak orang berkumpul memakai baju yang seragam. Saling bergandengan tangan, ada juga yang berpegangan bahu. Sepintas tampak biasa, namun setelah diamati lebih jeli ada yang berbeda.
Melihat spanduk yang terbentang di depan alun-alun bertuliskan "Jambore Tuna Netra". Seketika itu juga hati ini terasa terpukul. Badan spontan berhenti bergerak serba salah. Susah bernafas. Apalagi ketika Pakpo berkata, "Kasihan ya." Aku mulai mengamati satu per satu barisan tuna netra yang mulai menyeberang jalan, sehingga mobil kami diminta berhenti beberapa saat oleh pak polisi yang sedang berjaga di sana. Para tuna netra itu sebagian diantar keluarganya. Persis melewati depan mobil kami.
Nyesek banget ketika seorang anak kecil berusia sekitar 8 tahun berjalan penuh hati-hati. Fisiknya sehat, normal. Bukan karena dia masih kecil, tapi karena ketulusannya menuntun sang ayah yang ternyata tuna netra itu menyeberang jalan. Tanpa malu, tanpa gengsi dia menggandeng dengan penuh perhatian. Aku malu hanya bisa melihat dari balik kaca mobil ini. Kekayaan bukan jaminan untuk bahagia. Ketulusan itu sederhana tapi jarang kita temukan di kehidupan nyata.
Mengapa bintang bersinar?
Mengapa air mengalir?
Mengapa dunia berputar?
Lihat segalanya lebih dekat, dan kau akan mengerti.
-Sherina-
0 comments